Artikel Khairunnas Rajab

Puasa Dan Kesehatan Mental

Home
Pengantar
Islam Dan Psikoterapi Moden
Puasa Dan Kesehatan Mental
Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Kesehatan Mental
Sucikan Hati, Bersihkan Jasmani Dengan Taharah
Shalat Menjadikan Jiwa Tenteram
Belajar Mengaca Diri
Isu-isu Jender: Kajian Atas Psikologi dan Sosial Budaya Perempuan

PUASA DAN KESEHATAN MENTAL

 

Dr. Khairunnas Rajab, M.Ag

Dosen UIN “Suska” Riau DPK pada STAI Natuna

 

 

 

Puasa dalam bahasa Indonesia berarti menahan makan dan minum. Sedangkan dalam bahasa Arab puasa berasal dari kata Shiyam dari akar kata :Shama-yashumu-shauman-shiyaman artinya menahan dari makan dan minum, berkata-kata kotor dan melakukan perbuatan jelek. Menurut terminologi shiyam atau puasa, berarti: menahan diri dari makan, minum dan berjima’ mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.  Hadits riwayat Abu Hurairah di mana beliau berkata bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud:

 

Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan bertindak bodoh, maka Allah tidak akan menerima amal itu (puasa) yang meninggalkan makan dan minumnya.

 

Dalam etimologi dan terminologi puasa difahami sebagai suatu yang menuntut keteguhan, kesabaran, keyakinan dan penuh perhitungan dalam pelaksanaannya. Dua aspek dalam diri manusia yang tidak pernah lepas dari pelaksanaan puasa, pertama aspek fisikal, dan yang kedua aspek psikologis. Pada aspek fisikal seorang muslim yang berpuasa akan senantiasa menahan dari makan dan minum. Sedangkan pada aspek psikologis, seorang muslim yang berpuasa mematuhi peraturan dan perintah berhubungan dengan  sifat tercela, seperti; berdusta, takabbur,  mengumpat, hasad, iri hati, dan riya’.

 

Sifat-sifat tercela yang bersarang dalam hawa nafsu dan keinginan yang berpusat di perut dan yang ditunggangi oleh sifat-sifat syaitan menjadi sasaran asasi dalam ibadah puasa. Seorang muslim yang berpuasa berusaha dan berjuang mati-matian untuk menekan, menahan, menindas dan mengendalikan hawa nafsu, terutama dari sifat-sifat tercela.

 

Hikmah di balik pelaksanaan ibadah puasa meliputi penguatan iman dan pemantapannya. Dengan keimanan yang tertanam dalam diri seorang muslim, maka ia akan merasa dikawal dan diawasi sehingga kemauan untuk melakukan perbuatan tercela dan maksiat mampu dihindari. Puasa mempunyai muatan yang berisikan latihan kesabaran, ketekunan, dan usaha untuk menahan diri dari pelbagai kemungkinan; terjebak dalam dosa dan maksiat. Puasa juga merupakan pendidikan bagi hati sanubari manusia, di mana dengan berpuasa seseorang muslim selalu konsisten dengan tingkah laku yang baik dan benar. Dan dapat pula mengendalikan hati sanubarinya sendiri tanpa menghendaki pengawasan dan monitoring dari siapapun. Seorang muslim yang berpuasa harus punya keyakinan bahwa ia selalu dikawal dan diawasi oleh Allah SWT. Dengan demikian apabila ia berniat untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap ketentuan puasa, maka ia selalu ingat bahwa ia sedang berpuasa. Jika seseorang menyakiti hatinya atau merugikan pribadinya, maka kemarahannya dibendung dan keyakinannya senantiasa bersama Allah SWT. Seorang yang berpuasa secara kontinyu melatih dirinya supaya selalu dalam kesabaran dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

 

Puasa yang diamalkan dengan penuh perhitungan, keimanan dan ketaqwaan akan melahirkan kejujuran, keikhlasan dan kesabaran yang akhirnya akan mendatangkan anugerah sebagai orang yang bertaqwa dan mencapai kondisi psikologis yang nyaman, damai, dan  memiliki kesehatan mental yang baik. Puasa dengan dorongan iman, taqwa dan penuh perhitungan merupakan puasa hakiki yang melahirkan solidaritas dan dapat pula memaklumi perasaan orang-orang fakir dan miskin. Puasa seperti ini, mampu melatih diri bahwa kehidupan tidak selamanya senang. Hanya Allah saja yang bisa memberikan ganjaran pahala kepada orang yang berpuasa di akhirat kelak nanti.

 

Rasa belas kasih dan solidaritas yang timbul, sebagai efek dari ibadah puasa merupakan implementasi pembinaan yang berketerusan dengan menahan lapar, haus, menahan kehendak seksualitas di siang hari, dan menahan diri untuk senantiasa berkata-kata yang baik. Rasa keprihatinan dan keinginan dalam melapangkan dan meringankan beban si fakir dan miskin adalah usaha psikologis orang berpuasa yang amat menyentuh hati dan perasaan seorang muslim dan mukmin yang sedang berpuasa. Seorang muslim dan mukmin yang berpuasa; melatih dirinya supaya hidup sebagai seorang fakir dan miskin yang dalam kehidupannya kadangkala makan, dan kadangkala tidak makan sama sekali. Maka seorang mukmin yang berpuasa akan menghadapi hidupnya di hari itu dengan psikologis yang lebih lapang, bersikap lebih toleran dan tolong-menolong, lebih mampu beradaptasi dengan alam lingkungannya, serta lebih mampu menahan pelbagai interaksi dan perbincangan sesama manusia.

 

Membantu meringankan beban fakir dan miskin sebagai manifestasi daripada puasa merupakan usaha ke arah peningkatan rasa persamaan dan keserasian di antara sesama muslim di mana  yang membedakannya hanyalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Terwujudnya keserasian dan keselarasan dengan alam sekitar merupakan basics dalam mewujudkan kesehatan mental manusia.  Tercapainya kehidupan yang sesuai dan serasi di antara umat Islam dan sekitarnya serta antara fungsi-fungsi psikologis dalam arti berkembangnya seluruh potensi psikologis secara seimbang, sehingga manusia  mencapai kesehatan lahir dan batin, fisikal dan psikologis serta terhindar dari pertentangan batin, kegoncangan, kebimbangan, keraguan dan tekanan perasaan dalam menghadapi pelbagai dorongan, motivasi, dan kemauan.

 

Di samping rasa solidaritas yang ditimbulkan, puasa juga mempunyai pengaruh luhur dalam melepaskan manusia dari cengkeraman dan kebiasaan hina dan buruk. Kebiasaan buruk yang sudah dilakukan secara terus-menerus, amat sulit untuk diubah tanpa melalui latihan rutin dan berketerusan pula. Orang yang semasa kecil, biasa berdusta, maka selepas ia dewasa, perangai itupun terbawa-bawa Demikian juga dengan perbuatan buruk yang lain, yang sudah menjadi kebiasaannya adalah amat sulit untuk diubah. Puasa melatih diri agar terhindar dari penyakit-penyakit hati; karena siapa saja yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsu akan menjadi korban hasutan iblis, fikirannya akan dipengaruhi iblis yang mengajak berbuat buruk dan jahat sesuai dengan ide yang dimiliki iblis. Oleh itu, seseorang muslim perlu berpuasa karena puasa bukan hanya  menahan lapar dan haus saja, tetapi kejiwaannya harus mampu pula menghalau nafsu-nafsu iblis dan syaitan yang mengajak berbuat jahat. Dengan berpuasa seorang muslim senantiasa meningkatkan rasa percaya pada diri sendiri; di samping melahirkan konsep diri yang optimistik yang merupakan indikasi adanya mental yang sehat untuk menghadapi rintangan hidup yang semakin besar.

 

Puasa melatih seseorang muslim untuk hidup sabar. Dalam psikoterapi puasa, seorang terapis berperanan aktif dalam menguraikan peranan, fungsi, serta manfaat dari kewajiban menunaikan ibadah puasa. Seorang pasien mental yang memahami tentang peranan, fungsi dan manfaat puasa tersebut, akan menjadikan puasa sebagai terapi bagi dirinya yang cemas, dan menghadapi tekanan mental yang kuat. Dengan demikian, psikoterapi puasa dapat dijadikan sebagai metode baru dalam kesehatan mental. Psikoterapi Puasa juga merupakan suatu langkah bagi usaha manusia dalam mensimilarkan antara sains modern dengan kemajuan yang membelakangi dimensi spiritual, sehingga pakar-pakar sains dan ilmu pengetahuan, tanpa agama melahirkan kegersangan dan kegoncangan psikologis manusia. Dengan demikian psikoterapi puasa yang esensial dari teori dan metode psikoterapi Islam dapat membantu menumbuhkembangkan kesehatan mental dan kepribadian, serta menjadi realitas bagi kepentingan spiritual manusia dalam menghadapi rintangan dan tantangan zaman yang semakin sulit dan rumit.