NILAI-NILAI TASAWUF DALAM KESEHATAN MENTAL
By.
Khairunnas Rajab
Manusia secara psikologi, disebut sebagai makhluk
yang serba teka-teki dan rumit untuk dikenali. Dimensi psikologi manusia terasa rumit untuk dikaji disebabkan oleh kompleksnya
gejala perilaku yang terdapat pada diri manusia tersebut. Al-Qur’an, mensifati manusia sebagai makhluk yang paling sempurna
dan sebaik-baik bentuk. Allah mengingatkan umpamanya, Sungguh Kami ciptakan manusia itu sebaik-baik bentuk, makhluk yang
mulia dibanding makhluk Allah lainnya, maka diilhamkan (manusia) untuk berbuat dosa ataupun berlaku taqwa
Manusia diberi bekal dan potensi untuk menjadi baik atau buruk sehingga dalam proses kesempurnaan
diri itu, manusia berdiri sebagai subjek yang sadar dan bebas dalam menentukan pilihan baik ataupun buruk, jalan kebaikan
atau kejahatan, berlaku taqwa atau fujr, atau jalan yang menyebabkan dirinya terpelihara atau memilih jalan kebinasaan. Dari
aspek lain, al-Qur’an mensifati manusia dalam perbuatan dan kehidupannya
sebagai makhluk yang tergesa-gesa, sebagaimana yang disenyalir dalam al-Qur’an, Dan adalah manusia itu selalu bersikap
tergesa-gesa, sesungguhnya manusia itu menzalimi dirinya lagi ingkar (pada aturan
Tuhannya), sesungguhnya manusia itu diciptakan berkeluh kesah, adalah manusia itu dengan mudah saja bertengkar, dan adalah
manusia itu, makhluk yang sangat dhaif dan lemah.
Psikoterapi Islam merupakan efek emosional-psikologi
yang mengkaji manusia selaku subjek pengamal agama berdasarkan dimensi iman, ibadah, akhlak dan tasawuf. Manusia dalam kaitannya
dengan kesihatan mental; berusaha menjadikan dirinya tenang, tenteram dan bebas dari gangguan mental. Kajian ini berhubungan
erat dengan pembentukan moral yang positif ataupun negatif. Standar penilaian berakhlak atau tidak adalah berdasarkan keseragaman
pemahaman. Satu pemahaman menyebutkan: moral yang baik dapat diukur dengan munculnya rasa solidaritas yang tinggi, pemaaf,
kesadaran untuk tidak mengganggu ketenteraman orang lain, dan menjalin hubungan yang baik dengan Allah. Jika didasarkan kepada
proses perkembangan psikologi, maka perbuatan serupa itu adalah proses pertumbuhan, pembinaan dan pengembangan nilai akhlaq
al-karimah yang tersentuh dalam diri dan kehidupan manusia, maka akhlak adalah
kualitas- kualitas moral yang khusus bagi manusia malahan ia merupakan basic utama kemanusiaan itu sendiri. Dalam akhlak tercermin
kepribadian, di mana manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani yang diciptakan dalam keadaan ahsan al-taqwim (sebaik-baik
bentuk). Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan dasar kemanusiaannya yang akan menyebabkan ia hidup sebagai manusia tanpa kemanusiaannya
atau dengan kata lain sebagai makhluk asfala safilin (makhluk yang tidak bermoral).
Dimensi psikologi manusia, hati, roh, nafsu dan akal, memerlukan pembinaan dan pengembangan, agar
selalu berada dalam salam. Ketundukan pada aturan Ilahi harus dibina agar manusia mempunyai fakultas jiwa yang bermanfaat
bagi kemaslahatan hidupnya. Pembicaraan tentang hati dalam al-Qur’an sangat banyak, umpamanya, dalam firman Allah yang
bermaksud: Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, buta itu adalah hati yang ada di dalam dada, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakan untuk memahami, usaha Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh Syaitan itu sebagai cubaan
bagi orang-orang yang di dalam hatinya
ada penyakit dan yang kasar hatinya, dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya, sekali-kali tidak (demikian)
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka, dan Allah tidak mengunci mata hati dan pendengaran mereka
dan penglihatan mereka ditutupi. dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan usaha mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan. Iaitu pada hari harta dan anak-anak tidak
berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.Barang siapa yang beriman kepada Allah, maka Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya.
Hakikat hati telah diterangkan dalam al-Qur’an, namun
hati yang dimaksudkan di sini adalah hati yang tulus yang dapat mengerti, memahami dan mengetahui sehingga di mana ia menentukan
hakikat manusia. Dalam usaha menjadikan hati itu bersih, manusia harus dibimbing menuju Allah
dengan beriman dan berzikir kepada-Nya. Dalam tasawuf penyucian hati adalah hal penting; di mana proses perjalanan
menuju hati yang suci perlu diterapkan dengan penuh ketekunan karena mesucikan hati akan memberi efek kepada pembinaan mental
seseorang muslim.
Islam telah menetapkan asas roh dalam diri manusia, namun hakikat roh bukanlah urusan yang mudah
karena al-Qur’an memperkatakan hal ini dalam firman Allah yang bermaksud: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh,
katakanlah, roh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi pengertian (ilmu) melainkan sedikit.
Pada prinsipnya roh merupakan urusan Tuhan dan akal manusia tidak dapat menjangkau hakikat sebenarnya.
Di awal penciptaan manusia, roh telah diperkenalkan Tuhan. Allah menerangkankan dalam firman-Nya yang bermaksud: Dan ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam daripada sulbi mereka (seraya berkata) ; “Bukankah Aku ini Tuhannya”?
Mereka menjawab “ Betul (Engkau Tuhan kami).
Namun roh dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang mengelilinginya di mana faktor keluarga sangat
dominan dalam mempengaruhi roh, untuk menjadikannya baik atau jahat; faktor akal fikiran
yang bebas tanpa batasan akan menimbulkan keingkaran dan kesombongan dan faktor pemenuhan keperluan, mendesak roh berbuat
spekulasi dan penyimpangan. Penyelarasan roh, agar senantiasa berada dalam “Latifah Ruhanyiyah Rabbaniyyah” memerlukan
pendidikan yang seimbang sebagaimana roh yang telah mengenal Tuhannya di awal penciptaannya, dan menghiasi roh tersebut dengan
amalan-amalan dan zikir kepada Allah (Tuhan).
Nafsu dalam kehidupan manusia dapat menjadi tenaga yang positif, dan kadangkala pula mendorong
untuk hal-hal yang negatif. Nafsu dalam al-Qur’an dikategorikan kepada
beberapa tingkat. Nafs al-ammarah yang berisi segala bentuk perbuatan agresif dan destruktif manusia di ubah menjadi nafs
al-lawwamah yang kemudiannya berubah menjadi nafs mutma’innah. Apabila
nafsu senantiasa tunduk dan taat kepada kehendak hawa nafsu dan godaan-godaan syaitan, ia dinamakan al-nafs al-ammarah bi
al-su’ (nafsu yang menyerah pada kejahatan). Allah berfirman yang bermaksud: Dan Aku tidak membebaskan diriku daripada
kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyerah kepada kejahatan.(QS.Yusuf:53)
Bila ketenangan nafsu itu belum sempurna, namun tetap menyerah dan membuka peluang kepada hawa
nafsu, maka nafsu yang demikian disebut al-nafs al-lawwamah (jiwa yang menyesali dirinya sendiri). Kemudian nafsu itu mencerca
pemiliknya ketika dia lalai dari melakukan pengabdian kepada Tuhannya. Allah mengingatkan dalam firman-Nya yang bermaksud:
Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).(QS.Al-Qiyamah:2)
Namun apabila nafsu tenang berada di bawah perintah Allah dan ianya meninggalkan semua perkara
syahwat maka ia disebut al-nafs al- mutma’innah (jiwa yang tenteram)
Allah memanggil jiwa yang tenang ini dengan sebutan, dalam firman-Nya yang bermaksud: Hai jiwa yang tenteram, kembalikan kepada
Tuhanmu dengan hati puas lagi diredhaiNya. (QS.Al-Fajr:28)
Akal dalam dimensi kemanusiaan berperanan penting untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di
hadapan Allah. Akal sebagaimana roh dan nafsu juga memiliki kecenderungan untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Namun, akal
yang diberi taklif adalah akal rasional atau akal rendah yang menentang kodratnya sebagai manusia.
Empat dimensi psikis manusia; hati, roh, nafsu dan akal memiliki potensi pembinaan dan pengembangan
mental dan moral menuju akhlaq al-karimah yang sesuai dengan kodrat di azali yang dibawa
semenjak lahir. Tasawuf melihat peribadi manusia sebagai sesuatu yang unik yang membutuhkan pembinaan dan pengembangan
untuk menjadi insan yang mengenali, mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan cara itu seseorang sufi dapat mencapai
spritual yang tinggi, meraih kesempurnaan dan kesucian rohaniah yang murni. Usaha sedemikian disebut oleh kaum sufi dengan
tadhkiyyah al-nafs iaitu proses perkembangan psikologi manusia, menuju kondisi batiniah yang meraih al-falah (kesempurnaan),
al-najat (kejayaan) dan mutma’innah (ketenangan).
Kemenangan, kejayaan, ketenangan atau dalam bahasa yang agak umum kebahagiaan (happiness –
al-sa’adah: Arab) sebenarnya adalah kumpulan ketenangan mental dalam satu kesatuan pribadi yang utuh. Dan ketenangan
mental (mutma’innah) dapat diperoleh dengan mengingat Allah dan beramal
saleh. Allah berfirman yang bermaksud: Ketahuilah! Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.QS.Al-Ra’d:29)
Ketenangan jiwa ataupun kebahagiaan hidup tidak dapat diraih tanpa menghilangkan gangguan-gangguan
yang berkemungkinan menghambat proses tadhkiyyah al-nafs berlangsung. Gangguan itu biasanya lahir dari sikap rasa berdosa,
bersalah atau rasa dendam. Islam menyarankan umatnya supaya tidak terlalu memikirkan tentang dosa. Ini adalah karena, secara
psikologi orang yang berbuat dosa akan merasa gelisah dan cemas selama merasa berdosa itu berada dalam dirinya.
Dalam psikoterapi sufistik, pengajaran dan bimbingan rohani menuju Allah SWT, adalah suatu proses
yang berterusan. Sebelum seorang sufi menyibukkan dirinya dengan ibadah, dia harus melalui proses yang disebutnya dengan maqamat
(station) dan al-ahwal (pengkondisisan). Proses perjalanan sufi tersebut
adalah taqarrub dan zikkrullah yang akan menaikkannya ke puncak ma’rifatullah untuk mencapai tahap kebahagiaan dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT.