SALAT MENJADIKAN JIWA TENTERAM
By. Khairunnas Rajab
Kata salat berasal dari bahasa Arab, iaitu salla-yusallu-salatan ertinya: berdo’a dan atau mendirikan
salat “Allah memberi berkat atas sanjungannya. Kata “Salat, jama’nya adalah salawat yang berarti “menghadapkan
segenap fikiran untuk bersujud, bersyukur dan memohon bantuan”. Salat yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam, berisikan kalimat tasbih, tahmid, takbir dan tahlil yang mempunyai syarat dan aturan yang sudah diatur dalam al-Qur’an
maupun al-Sunnah. Aktiviti itu harus dilakukan dengan keikhlasan, tawaddu’, kerendahan hati, serta menghina diri di
hadapan Allah SWT.
Terminologi salat menunjukkan bahwa di dalamnya terdapat hubungan vertikal antara makhluk dengan khaliqnya.
Dengan penuh kekhusu’an seorang insan muslim berdiri, ruku’ dan sujud memenuhi panggilan Rabbnya sebagai pemberi
kekuatan, daya, rezeki, taufik dan hidayah. Berdirinya seorang insan muslim di hadapan Allah SWT, akan membekalinya dengan
suatu tenaga spiritual yang menimbulkan rasa kenyamanan, ketenangan dan kesehatan mental. Dengan salat seseorang muslim tidak
akan merasa bersendirian dalam menghadapi kesulitan karena ia tahu bahwa Allah dekat, Dia Maha tahu lagi Maha Melihat, Maha
berkuasa, dan Maha Penyayang. Seorang muslim yang khusyu’ dalam salat, merasakan bahwa ia berhadapan dengan Tuhannya.
Walaupun ia tidak melihat Allah, tapi hatinya tahu bahwa Allah melihatnya. Dengan kondisi kejiwaan seperti itu, ia mampu mengungkapkan
perasaannya kepada Allah, ia akan berdo’a, memohon dan mengadukan persoalan hidupnya kepada Yang Maha Memahami dan Maha
Penyayang. Dengan salat yang khusyu’ itu, semua persoalan yang dihadapinya, yang menghimpit dan menekannya akan dapat
diatasi. Oleh yang demikian, psikologinya akan menjadi tenang, nyaman, tenteram dan cerah kembali sehingga fikirannya boleh
memberi penumpuan kepada aktivitasnya. Malaikat Jibril yang datang sebagai seorang sahabat Nabi bertanya: Terangkanlah kepada-ku
tentang ihsan? Nabi s. a. w menjawab: ihsan ialah menyembah Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya, sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Ihsan berarti berbuat baik; membaikkan suatu perilaku, sehingga memiliki nilai syariat. Berbuat sebaik-baiknya
bermakna berlaku sempurna. Dengan demikian, kata ihsan itu juga mengandungi pengertian, berbuat sempurna, dan menyempurnakan.
Ihsan salat adalah menyempurnakan dengan membulatkan budi dan hati, sehingga fikiran, penghayatan dan anggota jasmani menjadi
satu, tertuju kepada Allah SWT. Antara ihsan dan aktivitas adalah dua perkara yang berkait,
kedua-duanya adalah untuk memperoleh kecintaan dan keredhaan Allah. Dalam berubudiyyah, seorang muslim terlebih dahulu
dianjurkan untuk meluruskan niatnya bahwa hanya bagi Allah saja ubudiyyah itu dilaksanakan.
Semakin dekat seseorang muslim dengan Tuhannya, semakin terpaut pula hatinya untuk berkhidmat kepada-Nya. Ketika
seorang muslim berkeinginan melakukan suatu aktivitas, ia akan merasakan bahwa dirinya diperhatikan oleh Tuhannya. Salat sebagai
amalan mahdah akan mendekatkan seorang muslim dengan Tuhannya.
Dalam salat tidak ada sesuatu selain zikir, bacaan ruku’ sujud, berdiri, dan duduk. Zikir adalah bermunajat
kepada Allah SWT. Sementara zikir (ingat akan Allah) itu dapat membuat hati menjadi tenang dan tenteram. Iaitu orang-orang yang beriman hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ketahuilah hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram.QS. al-Ra’d: 28)
Kesadaran manusia terhadap kekuasaan Yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui, kesadarannya terhadap ketidakberdayaannya
di dalam konflik alam yang abadi, kesadarannya akan kerahiman-Nya, semuanya membuat manusia mencurah perasaan-perasaan hatinya
yang melimpah dengan kata-kata syukur dan kecintaan, atau dengan kata taubat dan permohonan, kepada yang selamanya sadar dan
bermurah hati yaitu Allah, pencipta alam ini.
Kedaifan
yang meliputi manusia semakin membuatnya tawaddu’ dan merasa rendah di hadapan Allah. Ketidaksanggupannya mengatasi
konflik dan masalah-masalah dalam hidup, membuatnya bermunajat dan ingin mendekati Tuhannya dan akan menyampaikan keluhan-keluhannya
kepada Tuhannya.
Salat yang dikerjakan lima waktu sehari semalam dalam waktu yang telah ditentukan merupakan
fardu ‘ain. Salat fardu dengan ketetapan waktu pelaksanaannya oleh al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai nilai disiplin
yang tinggi bagi seorang muslim yang mengamalkannya. Aktivitas ini tidak boleh dikerjakan di luar ketentuan syara’.
Semasa salat tersebut, seorang muslim berikrar kepada Allah bahwa sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matinya hanya bagi
Tuhan sekalian alam. Dalam psikoterapi ibadah, metode seumpama ini boleh dijadikan terapi pemulihan bagi seseorang individu
yang mengalami kegelisahan dan keresahan. Pada kebiasaannya, mereka akan merasa tenteram dan nyaman setelah melaksanakan kewajiban
lima waktu dalam perjalanan hidupnya di hari itu. Dengan adanya
rasa aman dan tenang itu, daya fikir individu tadi akan melahirkan suatu kesinambungan lahir dan batin, sehingga dapat berfikir
tentang aktivitas yang profesional, belajar yang berkesan, ataupun memperolehi aktivitas baru yang lebih menguntungkan. Seorang
muslim yang melaksanakan salat dengan baik dan sesuai dengan syari’at Islam akan senantiasa optimistik dalam menghadapi
rintangan dan cobaan masa depan dengan penuh keyakinan dan kepercayaan kepada diri sendiri.
Salat secara berterusan yang diamalkan oleh seorang muslim tersebut dimulai dari Subuh, diteruskan dengan Zuhur,
kemudian Asar, setelah terbenam matahari dilanjutkan dengan Maghrib dan akhirnya diakhiri dengan salat Isya. Hikmah di sebalik ketentuan waktu ini adalah usaha seorang muslim tidak berlengah-lengah di waktu pagi,
kemudian ketika seorang muslim beristirahat sejenak dari aktivitas menjelang zuhur dan lebih-lebih lagi ketika seorang muslim
beristirahat setelah aktivitas diteruskan dengan asar. Pada masa istirahat
tersebut, biasanya dorongan untuk memperoleh kebenaran agak lemah kerana kepenatan dan kecapekan kerja sehingga memudahkan
pengaruh godaan syaitan masuk ke dalam diri manusia. Biasanya perkara ini membuat seorang muslim lupa diri tehadap kewajibannya
menunaikan salat sebagai seorang muslim. Oleh karena itulah, Allah membekalkan salat dengan rahasia yang mendalam kepada manusia,
agar selalu ingat kepada Allah melalui salat fardu ain yang berterusan. Kewajiban melaksanakan salat kepada setiap mukallaf,
diharapkan mampu mendekatkan diri seorang muslim kepada Tuhannya.
Kewajiban salat lima kali sehari semalam mengisyaratkan
bahwa di dalamnya mengandungi jalan menuju Tuhan. Salat seakan menyambung jalan yang terputus, di mana ketika salat, seorang
muslim mengadakan hubungan dan kontak langsung secara vertikal dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pertalian rasa kepenatan berkerja
dengan pendekatan kepada Allah tersebut akan melahirkan dimensi spiritual yang
tinggi sehingga kepenatan dan keletihan bekerja bertukar menjadi tenaga inovatif
yang amat meransangkan. Kewajiban salat lima kali sehari yang telah diatur dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah itu, apabila tertinggal
kerana lalai atau sebab lain, maka ia akan menimbulkan kesan negatif bagi psikologi. Rasa berdosa dan bersalah akan senantiasa
menghantui dan memburu individu di mana rasa berdosa dan bersalah dalam kesehatan mental merupakan salah satu sebab timbulnya
keresahan, ketidaknyamanan, dan ketidaksehatan mental.
Jika pada suatu ketika, keadaan tidak mengizinkan untuk melakukan salat tepat pada waktunya, maka individu akan
merasa gelisah, bersalah, dan marah pada dirinya sendiri kerana melalaikan kewajibannya selaku seorang muslim. Oleh itu, apabila
ditela’ah dengan sebaik-baiknya, maka akan nampak jelas bahwa hubungan salat dengan disiplin kerja amatlah dekat. Kedua-duanya
merupakan dua metode psikoterapi bagi menumbuhkembangkan keperibadian dan kesehatan mental.
Apabila salat fardu dapat dijadikan terapi bagi psikologi manusia, maka salat sunat (al-nawafil) juga dapat
dijadikan sebagai metode terapi kerana kedua-duanya sama-sama mempunyai nilai (value) zikir kepada Allah SWT. Banyak jenis
bentuk dan waktu salat sunat yang dianjurkan sebagai langkah terapi. Umpamanya salat yang mengiringi salat wajib, yang dinamakan
salat rawatib. Salat yang dilaksanakan pada waktu naiknya matahari sepenggala hingga masuknya waktu zuhur yang dinamakan dengan
salat duha. Salat yang ditunaikan di malam hari seperti tarawih, witir dan tahajjud. Ada
juga salat yang dikerjakan karena sebab, seperti salat sunat hajat, salat sunat wudhu’, dan salat sunat tahayat al-masjid.
Ucapan zikir yang terdapat dalam salat menceritakan keagungan Allah. Ucapan itu merupakan rahasia tentang makna
hidup bahwa manusia semakin dekat dengan Tuhannya. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya
aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a, apabila ia berdo’a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Dekatnya seorang muslim dengan Tuhannya ditandai dengan adanya perintah yang telah ditunaikannya. Merupakan
syarat mutlak bagi seorang muslim yang mau bermunajat dan berdo’a kepada Allah SWT. Ibadah yang disertai dengan kekhusu’an
akan bernilai terapi bagi psikologi manusia, apalagi kalau ditunaikan di saat hening dan sunyi. Salat tahajjud dan witr akan
lebih bermanfaat dan berguna apabila dikerjakan di saat orang lain sedang tidur, sementara seorang muslim lain dengan penuh
khidmat beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT dan mengadukan nasibnya kepada-Nya semua keluhan yang dihadangnya dalam
hidup sehari-hari.
Salat sunat (al-nawafil), seperti tahajud, tarawih, witr, dhuha, tahayatal-masjid, dan salat rawatib, dapat
menjadi terapi psikologi manusia dalam usaha mewujudkan pribadi Islam dan pribadi Qur’an. Kerana salat sebagaimana dinyatakan
al-Qur’an adalah mencegah perbuatan keji dan munkar. Salat yang mencegah perbuatan keji dan mungkar tersebut adalah
salat yang didirikan secara ikhlas, khusyu’, dan pelaksanaannya sesuai dengan kehendak al-Qur’an dan al-Sunnah
Nabi s.a.w. Dengan demikian salat yang mempunyai kaitan langsung antara manusia dengan khaliknya, akan menyambung hubungan
baik secara vertikal. Hubungan baik sebagaimana dimaksudkan akan melahirkan ciri-ciri spiritual yang tinggi dan dapat menumbuhkembangkan
kepribadian dan kesehatan mental secara sempurna.
‘Ubudiyyah dalam bentuk
salat sama ada baik wajib maupun sunat menghendaki kesempurnan dalam pengamalannya. Salat yang ditunaikan secara asalan, tidak
akan berkesan apapun bagi pembinaan mental manusia. Salat sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah s.a.w dikerjakan umat
Islam seperti contoh yang dipraktikkannya. “Salatlah kamu sebagaimana aku
salat”.
Ucapan yang menjadi muatan salat, seperti; takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil adalah ungkapan
tayyibah yang berkhasiat bagi menenangkan jiwa yang kaku dan mengalami gangguan mental. Ini karena, salat adalah langkah bagi
mendekatkan diri kepada Allah, maka ia menjadikan seorang muslim merasa takut melakukan dosa dan maksiat. Dalam hatinya meyakini
bahwa Allah selalu mengawasi gerak-geriknya. Allah melihat apa saja yang dikerjakannya, walaupun ia bersembunyi di dalam goa
yang gelap gulita.
Makna dan khikmah yang amat prinsip dari kewajiban salat tidak lain adalah untuk menghindari manusia
daripada melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Kewajiban salat pada hakikatnya bukan saja bertujuan pada penghambaan dan ubudyiyah
seorang muslim kepada Tuhannya saja, malahan ia dapat menjadi tenaga inovative, preventive, curative, dan constructive bagi
kejiwaan manusia.
Salat adalah seperti alat timbangan. Siapa saja memenuhi timbangannya, akan menerima faedah dan ganjaran sepenuhnya. Dan barang siapa mengurangi timbangannya, maka iapun akan menerima sesuai
dengan timbangannya itu. Imam al-Ghazali mengumpamakan salat seperti alat timbangan, kerana salat harus dikerjakan sesuai
dengan contoh yang dipraktekkan oleh Rasulullah s.a.w dan tidak dapat mengurangi dari syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkannya.
Salat yang dikerjakan tanpa wudhu’ tidaklah sah, kerana kurang syarat. Demikian juga salat yang dikerjakan tanpa membaca
al-Fatihah juga tidak sah, karena tidak dipenuhinya rukun salat.
Seorang muslim yang bersalat dianjurkan agar tetap khusyu’, karena khusyu’ merendahkan
hati, memperhatikan sepenuhnya dengan serius, dan penuh rasa takut, cemas dan penuh pengharapan kerana berhadapan dengan Tuhan
Yang Maha Agung dan Maha Besar. Khusyu’ bukan saja sekadar ucapan lidah, tetapi harus diiringi dengan ketundukan anggota
badan, tidak bergerak kecuali sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Salat yang cukup syarat dan rukun itulah yang menjadikan hidup bermakna, penuh kenyamanan dalam
hidup dan memperolehi kesehatan mental. Pelaksanaan salat yang khusyu’ menjadi tanda bahwa sifat riya’ dan sombong
dalam salat lesap dan hilang. Seorang muslim yang berterusan dan tidak berhenti dari melakukan ibadah salat, mampu menghadapi
persoalan-persoalan yang datang dalam kehidupannya.
Dalam psikoterapi salat, seorang terapis berperanan aktif dalam menjelaskan tentang kewajiban
dan memotivasi klien untuk senantiasa mengamalkan salat-salat fardu dan salat-salat
sunat. Seorang klien yang memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran tentang salat dengan sebaik-sebaiknya, maka ia senantiasa
wujud dalam monitoring Allah dan ia akan wujud dalam kesehatan mental. Seorang klien yang melaksanakan salat, akan selalu
menjaga dirinya usaha tidak tergelincir dan terjebak dalam kemungkaran dan kemaksiatan. Dengan demikian, salat adalah salah
satu metode psikoterapi Islam dalam kesehatan mental.